Cara Kerja dan Aplikasi Sel Bahan
Bakar Hidrogen, Bahan,
Prinsip, Pengertian, Contoh - Energi merupakan salah satu kebutuhan hidup yang
harus terpenuhi demi kelangsungan hidup manusia. Saat ini kebutuhan energi
sudah sangat besar seiring dengan peningkatan jumlah penduduk terutama energi
listrik. Jadi, dalam bidang energi sudah saatnya kita mengusahakan untuk
memproduksi sumber energi alternatif untuk mengantisipasi ketersediaan energi
di masa yang akan datang. Sumber energi tersebut harus memenuhi parameter
keberhasilan suatu sumber energi alternatif yaitu: dapat diperbarui (renewable
energy), ramah lingkungan, dan biaya yang murah. Salah satunya dengan
memanfaatkan sel bahan bakar (Fuel cell). Fuel cell merupakan konverter
dari energi kimia ke energi listrik yang ramah lingkungan. Fuel cell dirancang
untuk dapat diisi reaktannya yang terkonsumsi dimana fuel cell memproduksi
listrik dan penyediaan bahan bakar hidrogen dan oksigen dari luar. Reaktan yang
biasanya digunakan dalam sebuah sel bahan bakar adalah hidrogen di sisi anoda
dan oksigen di sisi katoda. Reaktan mengalir masuk dan produk dari reaktan
mengalir keluar. Sehingga operasi jangka panjang dapat terus menerus dilakukan
selama disuplai oleh bahan bakar (hidrogen) dan oksigen.
Fuel cell ini di klasifikasikan sebagai pembangkit tenaga
karena sel bahan bakar ini dapat beroperasi secara terus menerus atau selama
ada persediaan bahan bakar (fuel) dan oksidan. Fuel cell diklasifikasikan dalam
beberapa jenis tergantung dari jenis bahan bakar yang digunakan, yaitu Alkaline Fuel Cell (AFC), Molten Carbonate Fuel Cell (MCFC),
Phosphoric Acid Fuel Cell (PAFC), Proton Exchange Membrane (PEM), Solid Oxide
Fuel Cell (SOFC) (De Guire, 2003). Fuel cell memiliki karakteristik umum yaitu
sangat efisien (>85%), modular (dapat ditempatkan dimana diperlukan), ramah
lingkungan (tidak berisik, emisinya rendah), panas yang terbuang dapat di
simpan (Handayani, 2008).
SOFC dianggap menarik
karena memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan fuel cell jenis lain.
SOFC merupakan fuel cell dengan temperatur tertinggi pada saat ini yaitu
sekitar 600 oC - 1000 oC dan juga memiliki tingkat efesiensi yang
paling tinggi yaitu sekitar 60%. SOFC berkembang sejak tahun 1950 dan memiliki
dua bentuk yaitu planar dan tubular. Keuntungan dari fuel cell jenis ini yaitu
dapat menggunakan bahan bakar lain selain hidrogen. Sama seperti jenis fuel
cell yang lain, SOFC juga memiliki tiga bagian penting yaitu elektrolit,
katode, dan anode (De Guire, 2003).
1. Sel Bahan Bakar (Fuel Cell)
Fuel cell (sel bahan
bakar) adalah suatu konverter dari energi kimia menjadi energi listrik dengan
memanfaatkan kecendrungan hidrogen dan oksigen untuk bereaksi dimana operasi
jangka panjangnya dapat terus menerus terjadi selama bahan bakarnya dapat terus
disuplai yaitu hidrogen dan oksigen. Gas hidrogen dan oksigen secara
elektrokimia dikonvert menjadi air. Reaksi secara keseluruhannya adalah sebagai
berikut (Cook, 2001):
Anoda : H2 → 2 H+ +
2 e-
Katoda : ½ O2 +
2 H+ + 2 e- → H2O
Reaksi total : H2 +
½ O2 → H2O + energi listrik + kalor
Prinsip kerja fuel cell
yaitu hidrogen di dalam sel dialirkan menuju sisi anoda sedangkan oksigen di
dalam udara dialirkan menuju sisi katoda. Pada anoda terjadi pemisahan hidrogen
menjadi elektron dan proton (ion hidrogen). Ion hidrogen ini kemudian menyebrang
dan bertemu dengan oksigen dan elektron di katoda dan menghasilkan air.
Elektron-elektron yang mengandung muatan listrik ini akan menuju katoda melalui
jaringan eksternal. Aliran elektron-elektron inilah yang akan menghasilkan arus
listrik. Skema fuel cell diperlihatkan pada Gambar 1.
Skema sel bahan bakar (fuel cell)
(Anonim 2012)
|
Fuel cell memiliki
beberapa kelebihan yaitu (Anonim, 2008):
- Memiliki efiesiensi yang tinggi
(60%-70%)
- Ramah lingkungan (tidak
berisik, emisinya rendah)
- Secara teoritis, limbah atau
emisi yang dihasilkan adalah air (H2O).
Berbeda dengan pada
pembakaran biasa dengan menggunakan mesin, dimana limbah yang dihasilan adalah
gas-gas yang berpotensi untuk mencemari lingkungan. Selain itu jika menggunakan
pembangkit daya yang konvensional, polusi kebisingan juga dapat terjadi,
sedangkan sel bahan bakar ini tidak menghasilkan suara. Sel bahan bakar tidak
memerlukan penggantian elektrolit dan pengisian bahan bakar, akan tetapi jika
bahan bakarnya habis, maka sel ini juga tidak dapat berfungsi.
3. Bahan bakarnya
flexibel
Bahan bakar yang
digunakan untuk sel bahan bakar dapat digunakan beberapa macam, kebanyakan
menggunakan hidrogen dan oksigen sebagai bahan bakar dan oksidannya. Selain
menggunakan kedua bahan tersebut, bahan bakar lain yang dicoba digunakan antara
lain ammonia, hidrazine, metanol dan batubara.
Fuel cell memiliki
beberapa macam tipe yaitu
- Alkaline Fuel Cell (AFC)
- Molten Carbonate Fuel Cell
(MCFC)
- Phosphoric Acid Fuel Cell
(PAFC)
- Proton Exchange Membrane (PEM)
- Solid Oxide Fuel Cell (SOFC)
4. Solid Oxide Fuel Cell
(SOFC)
SOFC adalah suatu jenis
perangkat elektrokimia yang menggunakan bahan bakar oksida padat yang dapat
mengkonversi secara langsung dari energi kimia menjadi energi listrik yang
lebih efisien dan bahan bakarnya bebas dari polusi. Skema sebuah SOFC diperlihatkan
pada Gambar 2. (Wikipedia, 2012):
Gambar 2. Skema SOFC. (Anonim,
2012)
|
Pada suhu tinggi oksigen
bermigrasi melalui lapisan elektrolit menuju anoda yang akan mengoksidasi bahan
bakar yang mengandung molekul hidrogen pada anoda yang akan menghasilkan ion
hidrogen dan akan membebaskan elektron. Elektron yang dihasilkan pada anoda
keluar dari sirkuit masuk ke sisi katoda yang akan dipergunakan sebagai tenaga
listrik dengan efisiensi 60%. SOFC memiliki beberapa keunggulan dibandingkan
dengan jenis fuel cell yang lain, yaitu (Anonim, 2012):
- Memiliki efisiensi yang tinggi
60%.
- Memiliki stabilitas jangka
panjang.
- Ramah lingkungan.
- Dapat menggunakan beberapa
jenis bahan bakar.
- Emisinya rendah.
- Biaya yang relatif rendah.
- Dapat beroperasi pada suhu
tinggi yaitu 600 oC -
1000 oC.
SOFC memiliki dua desain
yaitu desain planar dan tubular (tabung) seperti yang terlihat pada Gambar
3.
Desain planar memiliki
lapisan khusus dalam berbagai ukuran yang banyak digunakan dalam berbagai sel
bahan bakar dimana lapisan elektrolitnya terletak diantara elektroda. Sedangkan
desain tubular, udara atau bahan bakar melewati bagian dalam tabung dan gas
lainnya dilewatkan pada bagian luar tabung. Desain tubular menguntungkan karena
lebih mudah untuk membatasi dan memisahkan bahan bakar dari udara dibandingkan
dengan bentuk planar (De Guire 2003).
Gambar 3. (a) sistem tubular SOFC
(b) Sistem planar SOFC (De Guire 2003).
|
Sama seperti fuel cell
pada umumnya, SOFC juga memiliki bagian penting, yaitu (De Guire, 2003):
a. Elektrolit
Elektrolit merupakan
pemisah antara katoda dan anoda. Elektrolit berfungsi untuk memindahkan ion-ion
yang terlibat dalam reaksi-reaksi reduksi dan oksidasi dalam sel bahan bakar.
Elektrolit sangat berpengaruh pada kinerja fuel cell.
b. Katode
Katode merupakan
elektroda yang berinteraksi dengan udara yang berfungsi menjadi batas untuk
oksigen dan elektrolit, mengkatalis reaksi reduksi oksigen dan menghubungkan
elektron-elektron dari sirkuit luar ke tempat reaksi.
c. Anode
Anode merupakan
elektroda yang berinteraksi dengan bahan bakar yang berfungsi menjadi batas
untuk bahan bakar dan elektrolit, mengkatalis reaksi oksidasi dan menghubungkan
elektron-elektron dari tempat reaksi elektron dari tempat reaksi ke eksternal
sirkuit. Anoda merupakan bagian terpenting dalam SOFC. Anode dalam sebuah SOFC
harus memiliki beberapa kriteria yaitu
- Memiliki konduktivitas listrik
yang tinggi (10-1- 103 (Ω.cm)-1)
- Stabil dalam lingkungan reduksi
- Mempunyai porositas yang
spesial dan banyak (20%-40%)
- Memiliki aktivitas katalik dan
elektrokimia yang tinggi untuk mengoksidasi bahan bakar
- Memiliki struktur kristal
kubik.
Pada penelitian yang
dilakukan oleh Herliyani (2012) dilakukan pembuatan anode dengan bahan dasar
CSZ (calcia stabilized zirconia) dengan metode kompaksi serbuk. Dimana metode
kompaksi serbuk merupakan proses pembuatan serbuk dan benda jadi dari serbuk
logam atau paduan logam dengan ukuran serbuk tertentu dengan cara di kompaksi
tanpa melalui proses peleburan (Rusianto, 2009). Energi yang digunakan dalam
proses ini relative rendah sedangkan keuntungan lainnya antara lain hasil
akhirnya dapat langsung disesuaikan dengan dimensi yang diinginkan yang berarti
akan mengurangi biaya permesinan dan bahan baku yang terbuang.
Jenis dan macam produk
yang dihasilkan oleh proses metalurgi serbuk sangat ditentukan proses kompaksi
dalam membentuk serbuk dengan kekuatan yang baik. Pada proses kompaksi serbuk
meliputi proses pengepresan suatu bentuk di dalam cetakan yang terbuat dari
baja. Teknik metalurgi serbuk meliputi pencampuran serbuk (mixing), pembuatan
pellet (kompaksi), perlakuan panas (sintering). Pengecoran adalah suatu proses
manufaktur yang menggunakan logam cair dan cetakan untuk menghasilkan parts
dengan bentuk yang mendekati bentuk geometri akhir produk jadi. Logam cair akan
dituangkan atau ditekan ke dalam cetakan yang memiliki rongga sesuai dengan
bentuk yang diinginkan (Anonim, 2011). Namun teknik ini mempunyai beberapa
kelemahan antara lain butir-butir yang dihasilkan cukup besar sehingga
menurunkan kekuatan tariknya. Selain itu teknik pengecoran mempunyai kesulitan
dalam pemaduan unsur-unsur dengan perbedaan titik leleh yang besar. Sehingga
metode metalurgi serbuk ini digunakan dalam penelitian ini walaupun metode ini
memiliki beberapa kelemahan yaitu : bentuk yang rumit tidak dapat dibuat, bahan
serbuk logam mahal dan kadang sulit penyimpanannya karena mudah terkontaminasi.
Keramik CSZ ini
merupakan campuran dari ZrO2 dan CaO dengan perbandingan persentase mol
sebesar 85% dan 15% karena jika ZrO2 lebih
dari 85% maka dikhawatirkan keramik akan menjadi rapuh sedangkan jika
persentase mol kurang dari 85% maka tidak akan membentuk struktur kristal kubik
seperti yang diharapkan. Kemudian campuran CSZ yang terbentuk ditambahkan
dengan NiO dan PVA yang bervariasi konsentrasi beratnya masing-masing sebesar
2%, 6%, dan 10% dimana variasi persentase konsentrasi berat PVA seperti ini
paling tepat untuk menghasilkan porositas keramik yang spesial tetapi
konsentrasi berat PVA ini bisa diekstrapolarsi jika ada penelitian lain yang
mencoba dengan persentase konsentrasi berat PVA sebesar ≤ 2%, 6%, dan 10%.
Berikut ini adalah tabel karakteristik dari PVA (polyvinyl alcohol).
Tabel 1. Karakteristik
PVA (Wikipedia, 2012)
Rumus
Molekul
|
(C2H4O)
|
Kerapatan
|
1,19 – 1,39 g/cm3
|
Titik didih
|
228 oC
|
Titik lebur
|
230 oC
|
Matula et al., (2008) menjelaskan bahwa untuk mendapatkan bahan anode SOFC
yang paling baik, maka campuran harus disintering dengan temperature sintering
≤ 1400 oC dan direduksi pada temperatur minimal 800 oC Hal ini terlihat
dari Gambar 4, dimana pada gambar ini terlihat bahwa densitas dari Ni-YSZ
meningkat seiring dengan penambahan suhu sintering tetapi akan kembali menurun
jika suhu sinteringnya lebih dari 1500 oC. Sedangkan jika temperatur reduksi kurang dari
800 oC maka reduksi akan berlangsung tidak sempurna karena masih
adanya fase NiO.
Gambar 4. Kurva sintering
Ni-YSZ 50:50 (Matula et al., 2008)
|
Selain suhu sintering
dan reduksi, komposisi NiO pada Ni-YSZ juga mempengaruhi bahan yang akan
dijadikan anode. Seperti yang diharapkan porositas meningkat terhadap NiO
sebagai konsekuensi dari reduksi Ni. Efek ini menguntungkan untuk transport
bahan bakar di anoda. Namun, ketika tingkat porositas terlalu tinggi maka sifat
mekanik berkurang. Berdasarkan pengujian sifat listrik ditemukan bahwa
meningkatnya NiO menyebabkan peningkatan konduktivitas pada Ni-YSZ. NiO yang
lebih rendah dari 40% menghasilkan konduktivitas yang relative rendah dan
material ini tidak sesuai untuk diaplikasikan sebagai anode pada SOFC. Untuk
mempertahankan sifat mekanik yang tinggi yang diperlukan untuk anoda SOFC,
komposisi NiO di NiO-YSZ campuran tidak boleh lebih tinggi dari 60% tetapi
tidak boleh lebih kurang dari 40% agar harga konduktivitas keramik tidak
terlalu rendah (Matula et al., 2008). Oleh karena itu, pada penelitian ini
dilakukan pembuatan keramik Ni-CSZ untuk diaplikasikan sebagai anode SOFC
dengan komposisi NiO 50% dengan suhu sintering 1500 oC dan direduksi pada
suhu 900 oC.
Gambar 5. Proses yang terjadi
selama pembuatan keramik secara fisis
|
Proses fisis yang
terjadi selama pembuatan pelet Ni-CSZ secara fisis dijelaskan pada Gambar 5.
sebagai berikut:
2.1. Keramik
Keramik dapat
didefinisikan sebagai campuran anorganik yang mencakup bahan logam dan nonlogam
yang dibentuk berdasarkan perlakuan panas dan tekanan (Boursoum, 1997). Sifat
keramik sangat ditentukan oleh struktur kristal, komposisi kimia, dan mineral
bawaannya. Keramik memiliki jenis yang sangat banyak. Salah satunya
adalah ZrO2, dimana keramik ZrO2 memiliki
karakteristik sebagai berikut: diguanakan pada suhu sampai 2.400 oC, kepadatan tinggi,
konduktifitas termalnya rendah, kimia inertness, perlawanan terhadap logam cair
, ionic konduksi listrik, ketangguhan perpatahan tinggi, kekerasan tinggi,
(dalam Wikipedia, 2010). Gambar berikut menunjukan diagram fasa ZrO2-CaO.
Gambar 6. Diagram fasa
ZrO2-CaO. (Anonim, 2012)
|
Gambar 6. merupakan
diagram fasa ZrO2 CaO. Dalam penelitian ini keramik CSZ diharapkan membentuk
struktur kubik sehingga persentase mol CaO harus diantara 15% - 27% dan
temperature sinteringnya ≤ 1500 oC.
2.3 Sintering
Proses sinter merupakan
proses perlakuan panas pada serbuk ataupun padatan dari serbuk pada temperatur
2/3 dibawah titik leleh untuk meningkatkan kekuatan (Didiek et al., 2007). Proses sintering ini lebih efektif daripada proses
kalsinasi. Dimana kalsinasi itu merupakan suatu metode pemisahan dengan memecah
ikatan antar senyawa menggunakan pemanasan 800 oC karena pada suhu
ini ikatan kompleks akan terpecah. Sedangkan pembakaran adalah suatu tahapan
reaksi kimia antara suatu bahan bakar dan suatu oksidan disertai dengan
produksi panas yang kadang disertai cahaya dalam bentuk pendar atau api.
Proses sintering sangat
efektif untuk mengurangi porositas, meningkatkan kekuatan, meningkatkan
konduktivitas termal, dan meningkatkan kerapatan keramik sesuai dengan mikrostruktur
dan komposisi fasa yang diinginkan. Selama proses sintering ukuran butir
mengecil dan menjadi lebih bulat karena permukaan partikel masuk ke pori-pori
di dalamnya sehingga porositas berkurang dan membuat sampel menjadi lebih
padat. Gambar 7a. dan Gambar 7b. menunjukan dua kemungkinan yang akan terjadi
selama proses sintering.
Gambar 7. (a) Densifikasi
diikuti dengan pertumbuhan butir (grain growth), (b) coarsening (Barsoum,
1997).
|
Kedua mekanisme ini
saling bersaing. Jika proses atomnya yang mendominasi adalah densifikasi, maka
kerapatan dan porositasnya akan mengecil dan menghilang terhadap waktu. Tetapi,
jika proses coarsening lebih cepat, maka kekasaran dan porositasnya akan
membesar terhadap waktu (Barsoum, 1997).
3. Polimeric Electrolyte
Membrane Fuel Cells (PEMFC) (Mudzakir, 2010)
PEMFC merupakan sel bahan bakar yang banyak dipilih dikarenakan sel bahan bakar tersebut memiliki sifat yang lebih menguntungkan, yakni mampu meminimalisir korosi yang sering terjadi dalam penggunaan sel bahan bakar jenis laindengan bahan elektrolit yang korosif, selain itu PEMFC dapat beroperasi pada temperatur rendah (sekitar 80 oC). Pada PEMFC membran digunakan sebagai konduktor proton dan insulator elektronik sehingga mempermudah pengemasan dan meningkatkan efisiensi kerja transfer ion H+ hingga mencapai 40-50%. (Souza, 2003)
Membran yang saat ini banyak digunakan untuk PEMFC adalah Nafion®. Politetrafluoroetilena dengan cabang gugus asam sulfonat (Nafion®) memiliki konduktivitas proton, ketahanan mekanik, dan ketahanan termal yang baik. Namun membran Nafion® memiliki kekurangan yaitu tidak ramah lingkungan, harga yang mahal serta memiliki permeabilitas metanol yang tinggi sehingga tidak dapat diaplikasikan pada Direct Methanol Fuel Cell (DMFC). Oleh karena itu berbagai penelitian dilakukan dengan tujuan mendapatkan membran baru yang lebih baik dari segi kualitas, harga dan ramah lingkungan dibandingkan dengan Nafion®.
Dalam PEMFC membran yang digunakan harus bermuatan negatif agar efisien dalam menarik dan melewatkan proton dari anoda ke katoda. Dan agar lebih ramah lingkungan membran harus dapat terdegradasi secara alami, sehingga membran hasil pemakaian tidak menjadi limbah atau polutan.
Kitosan merupakan salah satu biopolimer yang memenuhi syarat untuk diaplikasikan sebagai membran dalam sel bahan bakar. Karena kitosan bersifat hidrofilik, memiliki kekuatan mekanik yang baik, mudah dimodifikasi secara kimia serta dapat terdegradasi secara alami. Kitosan merupakan biopolimer yang berasal dari kulit udang yang telah dideasetilisasi. Sehingga pemanfaatan kitosan sebagai membran dapat menjawab permasalahan limbah dan menaikkan nilai ekonomi kulit udang tersebut. Bila dibandingkan dengan Nafion® konduktivitas kitosan sangat rendah, sehingga untuk menaikkan konduktivitas ioniknya dilakukan sulfonasi pada kitosan.
PEMFC merupakan sel bahan bakar yang banyak dipilih dikarenakan sel bahan bakar tersebut memiliki sifat yang lebih menguntungkan, yakni mampu meminimalisir korosi yang sering terjadi dalam penggunaan sel bahan bakar jenis laindengan bahan elektrolit yang korosif, selain itu PEMFC dapat beroperasi pada temperatur rendah (sekitar 80 oC). Pada PEMFC membran digunakan sebagai konduktor proton dan insulator elektronik sehingga mempermudah pengemasan dan meningkatkan efisiensi kerja transfer ion H+ hingga mencapai 40-50%. (Souza, 2003)
Membran yang saat ini banyak digunakan untuk PEMFC adalah Nafion®. Politetrafluoroetilena dengan cabang gugus asam sulfonat (Nafion®) memiliki konduktivitas proton, ketahanan mekanik, dan ketahanan termal yang baik. Namun membran Nafion® memiliki kekurangan yaitu tidak ramah lingkungan, harga yang mahal serta memiliki permeabilitas metanol yang tinggi sehingga tidak dapat diaplikasikan pada Direct Methanol Fuel Cell (DMFC). Oleh karena itu berbagai penelitian dilakukan dengan tujuan mendapatkan membran baru yang lebih baik dari segi kualitas, harga dan ramah lingkungan dibandingkan dengan Nafion®.
Dalam PEMFC membran yang digunakan harus bermuatan negatif agar efisien dalam menarik dan melewatkan proton dari anoda ke katoda. Dan agar lebih ramah lingkungan membran harus dapat terdegradasi secara alami, sehingga membran hasil pemakaian tidak menjadi limbah atau polutan.
Kitosan merupakan salah satu biopolimer yang memenuhi syarat untuk diaplikasikan sebagai membran dalam sel bahan bakar. Karena kitosan bersifat hidrofilik, memiliki kekuatan mekanik yang baik, mudah dimodifikasi secara kimia serta dapat terdegradasi secara alami. Kitosan merupakan biopolimer yang berasal dari kulit udang yang telah dideasetilisasi. Sehingga pemanfaatan kitosan sebagai membran dapat menjawab permasalahan limbah dan menaikkan nilai ekonomi kulit udang tersebut. Bila dibandingkan dengan Nafion® konduktivitas kitosan sangat rendah, sehingga untuk menaikkan konduktivitas ioniknya dilakukan sulfonasi pada kitosan.
Polymeric electrolyte
membrane fuel cell (PEMFC) disebut juga proton exchange membrane fuel cell.
Membran ini berupa lapisan tipis padat yang berfungsi sebagai elektrolit
pemisah katoda dan anoda. Membran ini secara selektif mengontrol transport
proton dari anoda ke katoda dalam sel bahan bakar. PEMFC mengandung katalis
platina. Selain itu, pada fuel cell ini tidak dipakai fluida yang bersifat
korosif seperti jenis sel bahan bakar lainnya.
Membran polimer
merupakan komponen yang sangat penting dalam PEM fuel cell. Membran polimer ini
dapat memisahkan reaktan dan menjadi sarana transportasi ion hidrogen yang
dihasilkan di anoda menuju katoda sehingga menghasilkan energi listrik.
Kemurnian gas hidrogen sangat mempengaruhi emisi buang sistem fuel cell berbasis
polimer tersebut. Kemurnian hidrogen yang tinggi memberikan tingkat emisi yang
mendekati zero emission. Penggunaan hidrogen dengan tingkat kemurnian tinggi
juga dapat memperpanjang waktu hidup membran fuel cell dan mencegah pembentukan
karbonmonoksida (COx) yang beracun, pada permukaan katalis (Jamal, 2007).
Skema gambaran pada
prinsip sel bahan bakar ditunjukkan pada Gambar 8. hidrogen sebagai bahan bakar
yang dikonsumsi pada anoda, menghasilkan elektron yang dialirkan ke katoda
melalui rangkaian luar. Ion hidrogen masuk ke larutan elektrolit dan tersebar ke
katoda oleh aliran elektroosmotik. Pada katoda, oksigen dikombinasikan dengan
elektron dan proton dari aliran elektrolit untuk menghasilkan air dan panas.
Ionic liquids fuel cell (ILFs) merupakan sel bahan bakar berbasis hidrogen
dengan cairan ionik sebagai elektrolitnya, yang berfungsi sebagai media untuk
proton (H+) bermigrasi dari anoda menuju ke katoda. Pada
penelitian sebelumnya (Souza, 2003) telah melakukan penelitian mengenai cairan
ionik imidazolium sebagai media penghantar proton dalam sel bahan bakar.
Gambar
8. Diagram aplikasi sel bahan bakar pada berbagai bidang.
|
Dengan kemajuan yang
signifikan, kini sel bahan bakar telah diaplikasikan pada berbagai bidang untuk
memenuhi kebutuhan dan kemudahan bagi kehidupan manusia. Diantaranya untuk
transportasi air, udara dan laut serta pemenuhan kebutuhan rumah tangga dan industri.
Serta digunakan dalam berbagai bidang seperti industri, kedokteran,
transportasi hingga militer.
3.1 Kitosan
Kitosan pertama kali
ditemukan oleh ilmuan Perancis, Ojier, pada tahun 1823. Ojier meneliti kitosan
hasil ekstrak kerak binatang berkulit keras, seperti udang, kepiting, dan
serangga.
Senyawa kitosan
diperoleh dari proses deasetilisasi senyawa kitin. Kitin adalah poliamino
sakarida yang cukup banyak terdapat di alam setelah selulosa, susunan
molekulnya mirip dengan selulosa. Keterbatasan penggunaan kitin disebabkan
kitin sukar larut dalam beberapa pereaksi. Oleh karena itu kitin banyak
digunakan setelah ditransformasikan dalam bentuk kitosan. Gambar 9. menunjukkan
reaksi transformasi kitin menjadi kitosan.
Gambar
9. Reaksi Transformasi Kitin Menjadi Kitosan. [1]
|
Kitosan yang dapat
diperoleh dari deasetilasi kitin merupakan biopolimer yang potensial untuk
dijadikan bahan dasar membran sel bahan bakar (fuel cell membranes).
Dikarenakan keunggulan material ini yang bersifat hidrofilik, mempunyai
ketahanan mekanik yang tinggi, mudah dimodifikasi secara kimia, ramah
lingkungan serta keberadaanya yang melimpah di alam.
3.2 Kitosan Sulfonat
Untuk meningkatkan
konduktivitas membran kitosan dan menurunkan permeasi terhadap metanol dalam
aplikasi sel bahan bakar dilakukan proses sulfonasi terhadap kitosan. Reaksi
sulfonasi dapat diartikan sebagai suatu reaksi subtitusi untuk mengganti atom
hidrogen dengan gugus –SO3H pada molekul organik melalui ikatan kimia
pada atom karbon. Syarat untuk terjadinya sulfonasi adalah keasaman fasa yang
harus dipenuhi, karena jika terjadi perbedaan fasa antara gugus sulfonasi
dengan polimer yang akan disulfonasi dapat menyebabkan reaksi sulfonasi
mengalami kegagalan. Selain itu dalam reaksi ini diperlukan suatu pelarut yang
memiliki kelarutan yang baik.
Proses sulfonasi dapat
dilakukan dengan senyawa yang memiliki gugus sulfonat diantaranya yaitu asam
sulfat (H2SO4), oleum, asetil sulfat, dan asam klorosulfonat.
Proses sulfonasi pun dapat dilakukan dengan 2 metode, metode pertama yaitu metode
konvensional dan metode yang kedua menggunakan bantuan gelombang mikro
(microwave oven). Hasil karakterisasi penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa
membran kitosan sulfonat yang dihasilkan dengan metoda konvensional memiliki
sifat termal dan kapasitas penukar proton yang lebih tinggi dibandingkan
membran yang diperoleh dengan bantuan gelombang mikro.
Namun demikian, membran
yang dihasilkan dari metoda pertama sangat rapuh. Sebaliknya, membran kitosan
tersulfonasi yang diperoleh dari hasil reaksi dengan bantuan gelombang mikro
mempunyai kekuatan mekanik yang baik untuk uji permeasi selanjutnya. Data
penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa membran kitosan sulfat yang disintesis
dengan gelombang mikro mempunyai nilai permeasi terhadap metanol yang lebih rendah
dibandingkan dengan membran kitosan tanpa sulfonasi (Velianti, 2008). Gambar
10. menunjukkan reaksi transformasi kitosan menjadi kitosan sulfonat dengan
asam klorosulfonat sebagai agen pensulfonasinya.
Gambar
10. Reaksi Transformasi Kitosan Menjadi Kitosan Sulfonat. [10]
|
Penelitian mengenai
sintesis kitosan sulfat dengan bantuan gelombang mikro telah dilakukan
sebelumnya (Mansyur, 2009). Gelombang mikro digunakan untuk membantu pemasukan
gugus N-sulfo dan O-sulfo pada kitosan. Struktur kitosan sulfonat yang
didapatkan dengan gelombang mikro tidak jauh berbeda dengan struktur kitosan.
Karakterisasi penelitian yang dilakukan sebelumnya dengan menggunakan gelombang
infra merah menghasilkan spektrum khas yang sama dengan kitosan hanya berbeda
serapan pada bilangan gelombang 1382,96 cm-1 yang
menunjukkan vibrasi ulur ikatan –SO2O-O-
dan pada serapan 1018,41 cm-1 yang menunjukkan ikatan C-O-S. Selain itu,
puncak gugus C=O yang terdapat pada bilangan gelombang 1658 cm-1 memiliki
kesamaan antara kitosan dan kitosan sulfonat menunjukkan bahwa rantai polimer
tidak mengalami pemutusan ikatan.
3.3 Modifikasi Membran
dengan Cairan ionik
Pemodifikasian membran
Nafion® dengan cairan ionik 1-etil-3-metilimidazolium (EMI) telah dilakukan
oleh Bennett, et al. (2005). Pemodifikasian tersebut dilakukan
untuk mengetahui pengaruh cairan ionik pada membran Nafion® dengan cara
identifikasi pada nilai konduktivitas membran dan morfologi membran.
Pemodifikasian dilakukan dengan cara meredam membran dalam cairan ionik /
metanol dengan perbandingan 1:1 (v/v) selama 3 jam pada suhu ruang dan pada
suhu 70 oC. Metanol dipilih karena dapat melarutkan cairan ionik dan
sifatnya yang mudah menguap. Membran kemudian dikeringkan pada suhu 110 oC selama 3 jam untuk
menghilangkan metanol. Dilaporkan pula bahwa proses pemodifikasian membran
dengan cairan ionik akan lebih baik pada suhu tinggi, namun penguapan methanol
sangat cepat pada suhu 90 oC, sehingga proses pemodifikasian tidak
terkendali.
3.4. Cairan Ionik (Ionic
Liquids)
Cairan ionik (ionic
liquids) adalah suatu senyawa yang hanya memiliki spesies ionik tanpa adanya
molekul netral yaitu hanya terdiri atas kation-anion (Hermanutz, et al., 2006). Dalam arti luas, istilah ini mencakup semua garam cair,
misalnya, lelehan natrium klorida pada suhu yang lebih tinggi dari 800 °C.
Namun, pada saat ini, istilah "cairan ionik" digunakan untuk garam
dengan titik lebur yang relatif rendah (dibawah 100 °C). Berbeda dengan garam
cair (molten salt) yang biasanya mempunyai titik leleh dan viskositas tinggi,
juga sangat korosif, cairan ionik umumnya berwujud cair pada suhu kamar,
mempunyai viskositas relatif lebih rendah dan relatif tidak mempunyai sifat
korosif (Toma, et al., 2000). Dengan demikian, cairan ionik (ILs)
hanya digunakan untuk garam dengan titik leleh yang relatif rendah, yaitu
terletak pada suhu < 100 - 150 oC (Hagiwara dan Ito, 2000; Hermanutz, et al., 2006), terutama garam yang berbentuk cairan pada suhu kamar
lebih dikenal dengan room-temperature ionic liquids (RTILs).
Keuntungan dari sifat
yang dimiliki cairan ionik adalah memiliki rentang cair besar, sekitar
300 °C (-96 sampai lebih dari 200 °C) ; memiliki kestabilan
termal dan elektrokimia yang tinggi; merupakan pelarut yang baik bagi material
organik, anorganik maupun polimer; tidak mudah menguap; tidak mudah terbakar;
tidak beraroma (bau yang ditimbulkan berasal dari pengotor); menunjukkan
keasaman Bronsted, Lewis, Franklin dan keasaman yang tinggi (Superacidity);
dapat menjadi katalis sekaligus sebagai pelarut; memiliki sifat selektif yang
tinggi terhadap suatu reaksi dan sebagainya (Fitzwater, et al., 2005; Lajunen, 2006; Pitner, 2004).
Sifat dari cairan ionik
dapat disesuaikan dengan mengubah struktur kation dan anionnya (Murugesan dan
Linhardt, 2005). Sifat-sifat cairan ionik seperti kepolaran atau
hidrofilisitas/ lipofilisitas yang bisa diatur tergantung dari kation maupun
anion yang menyusunnya menjadikan cairan ionik dikenal sebagai tailored-made
solvents (Gordon, 2003).
Jenis-jenis kation yang
sering digunakan sebagai kation cairan ionik diantaranya adalah sebagai berikut
(Murugesan dan Linhardt, 2005):
Gambar
11. Beberapa Jenis Kation Cairan Ionik.
|
Sedangkan jenis anion
yang sering digunakan diantaranya adalah tetraflouroborat [BF4]-,
heksaflouroposfat ([PF6]-), heksafluoro antimonat ([SbF6]-),
nitrat ([NO3]-), tosilat ([Ots]-), triflat
([Otf]-), bromida (Br-), klorida (Cl-), iodida
(I-), triflouroasetat ([CF3CO2]-),
perklorat ([ClO4]-), germanium klorida ([GeCl3]-),
bis(trifluorometilsulfonil) imida ([NTf2]-), aluminium
klorida ([Al2Cl7]-), aluminium tetraklorida
([AlCl4]-), asetat ([CH3CO2]-),
dan benzoat ([C6H5CO2]-) (Murugesan
dan Linhardt, 2005).
3.4.1 Sintesis Cairan
Ionik
Tahapan sintesis dari
cairan ionik dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu: pembentukan kation yang
diinginkan dan pergantian anion untuk membentuk produk yang diinginkan. Pada
beberapa kasus, produk dapat langsung dihasilkan tanpa melakukan tahap kedua
seperti pada pembentukan etilammonium nitrat. Kebanyakan kasus kation yang
diinginkan secara komersil tersedia dalam harga yang wajar (seperti garam
halida, garam tetraalkilammonium dan trialkilsulfonium iodida), yang hanya digunakan
untuk reaksi pergantian anion. Reaksi yang digunakan untuk mensintesis cairan
ionik meliputi reaksi kuartenerisasi dan reaksi pergantian anion (Gordon,
2003).
3.4.2 Reaksi
Kuartenerisasi
Pembentukan kation dapat
dihasilkan melalui protonasi dengan adanya asam bebas atau kuartenerisasi dari
amina atau fosfin, biasanya dengan haloalkana. Reaksi protonasi, yang biasa
digunakan pada pembentukan garam seperti etilammonium nitrat, melibatkan
penambahan asam nitrat 3 M yang kemudian didinginkan ke dalam larutan etilamin.
Kelemahan proses ini yaitu dihasilkannya residu amina yang tidak diharapkan
(Gordon, 2003).
Pada prinsipnya, reaksi
kuartenerisasi sangatlah sederhana, amin atau fosfin dicampurkan dengan
haloalkana yang diinginkan kemudian diaduk dan dipanaskan. Garam halida yang
dihasilkan pun dapat dengan mudah dirubah menjadi garamgaram lain dengan anion
yang berbeda (Gordon, 2003).
3.4.3 Reaksi Pergantian
Anion
Reaksi pergantian anion
dapat dibagi dalam dua kategori yaitu perlakuan langsung dari garam halida
dengan asam lewis dan pembentukan cairan ionik melalui reaksi metatesis anion
(Gordon, 2003).
3.4.3.1 Reaksi Asam Basa
Lewis
Pembentukan cairan ionik
dengan proses ini dilakukan dengan perlakuan dari garam halida dengan asam
Lewis (biasanya AlCl3).
Proses yang umum dilakukan yaitu perlakuan dari kuartener garam halida Q+X-
dengan asam Lewis MXn menghasilkan pembentukan lebih dari satu spesi anion yang
bergantung dari perbandingan relatif dari Q+X- dan MXn. Pembentukan dari proses
ini dapat dicontohkan dengan etilmetilimdazolium (EMIM) klorida dan AlCl3 seperti reaksi dibawah ini:
[EMIM]+Cl- + AlCl3 → [EMIM]+ [AlCl4]-
[EMIM]+ [AlCl4]- + AlCl3 → [EMIM]+ [Al2Cl7]-
[EMIM]+ [Al2Cl7] -- + AlCl3 → [EMIM]+ [Al3Cl10]–
Metode yang sering
digunakan untuk pembentukan cairan ionik dilakukan dengan pencampuran sederhana
dari asam Lewis dengan garam halida. Reaksi umumnya eksoterm, ketika
menambahkan satu zat ke dalam zat lain haruslah dengan sangat hati-hati.
Walaupun garam relatif stabil akan suhu, panas yang terbentuk dari lingkungan
dapat menyebabkan dekomposisi cairan ionik yang disintesis. Hal ini dapat
dicegah dengan pendinginan selama proses pencampuran, walaupun hal itu
dirasakan sangat sulit, atau bisa juga dengan menambahkan suatu zat ke dalam
zat lain dengan jumlah yang sedikit demi sedikit. Dekomposisi atau pengurangan
jumlah terjadi akibat adanya hidrolisis yang terjadi dalam cairan. Tetapi, hal
yang biasa jika produk yang dihasilkan tidak murni 100% atau terkontaminasi
dengan pengotor. Hal itu pun pasti terjadi pada sintesis cairan ionik, dan
pengotor yang biasa mengkontaminasi produk adalah pelarut organik (Gordon,
2003).
3.4.3.2 Reaksi Metatesis
Anion
Reaksi metatesis anion
biasanya terjadi pada garam-garam yang ditambahkan dengan garam perak (AgNO3, AgNO2, AgBF4,
Ag[CO2CH3] dan Ag2SO4) dalam metanol atau larutan metanol. Pada
beberapa aplikasi, produk akan berupa cairan pada suhu ruangan. Kombinasi dari
anion dapat menghasilkan perbedaan sifat termal yang berbeda-beda (Gordon,
2003).
3.5. Fatty Imidazolinium
sebagai Sistem Kation Baru pada Cairan Ionik
Kation fatty
imidazolinium pada Gambar 12(b) mempunyai struktur dan fungsi yang sangat mirip
dengan kation imidazolium Gambar 12(a), berbeda hanya pada gugus substituen
pada N3 [dengan adanya gugus amida, -[C(O)(NH)] pada Gambar 12(b) dan
adanya ikatan rangkap pada sistem lingkar Gambar 12 (a). Garam fatty
imidazolinium ini dapat disintesis dari asam lemak (Bajpai, dan Tyagi, 2006;
Tyagi, et al., 2007), sehingga dimungkinkan untuk
mendapatkan garam ini dari minyak nabati terbarukan lokal.
Gambar
13. Struktur Molekul dari (i) Fatty Imidazoline dan (ii) Kation Fatty
Imidazolinium
|
Penggunaan iradiasi
gelombang mikro (microwave irradiation) dalam sintesis organik menawarkan
beberapa keuntungan yaitu umumnya reaksi dapat berlangsung dalam waktu yang
singkat, rendemen yang diperoleh tinggi, dan kemurnian hasil yang tinggi.
Selain itu, reaksi kering (dry reaction) dalam microwave menarik perhatian para
peneliti karena dapat meminimalisir keracunan akibat penguapan dari pelarut
organik yang berbahaya bagi tubuh (Bajpai et al., 2008).
3.6 Mekanisme Pemanasan
dengan Gelombang Mikro
Gelombang mikro
merupakan salah satu bentuk energi elektromagnetik dengan panjang gelombang
antara 0,01 hingga 1 meter. Gelombang mikro terletak di antara gelombang
inframerah dan gelombang radio dan memiliki frekuensi berkisar antara 0,3
samapai 30 GHz. Untuk penggunaan dalam laboratorium, frekuensi yang sering
dipakai adalah 2,45 GHz. Proses pemanasan dalam sintesis organik dengan
gelombang mikro melibatkan agitasi molekul polar atau ion yang bergetar dibawah
pengaruh medan magnet atau arus listrik yang bergetar. Dalam medan yang
bergetar, partikel-pertikel berusaha untuk mengorientasi diri agar menjadi
sefasa. Gerakan partikel-partikel dibatasi oleh gaya dalam partikel yang
menghasilkan gerakan acak hingga akhirnya menghasilkan panas.
Respon berbagai material
terhadap radiasi gelombang mikro beragam dan tidak semua material dapat
mengalami pemanasan oleh gelombang mikro, hanya material yang mengadsorpsi
radiasi gelombang mikro saja yang sesuai dengan microwave chemistry.
Material ini
dikelompokkan berdasarkan mekanisme pemanasannya:
3.6.1. Polarisasi
dipolar
Polarisasi dipolar
merupakan proses menghasilkan panas oleh molekul polar. Molekul polar yang
berada dalam medan elektromagnetik yang berosilasi dengan frekuensi yang sesuai
berusaha untuk mengikuti medan dan menjajarkan diri agar sefasa dengan medan.
Adanya gaya dalam molekul menyebabkan molekul polar tidak dapat mengikuti
orientasi medan. Peristiwa tersebut menghasilkan pergerakan partikel acak yang
akan menghasilkan panas.
Polarisasi dipolar dapat
menghasilkan panas dengan salah satu atau dua mekanisme ini :
a. Interaksi antara
molekul pelarut polar, seperti: air, methanol dan etanol
b. Interaksi antara
molekul terlarut polar, seperti: ammonia dan asam format
Radiasi gelombang mikro
memiliki frekuensi yang sesuai (0,3-30 GHz) untuk mengosilasi partikel polar
dan bernilai cukup besar untuk interaksi intermolekul. Disamping itu, energi
foton gelombang mikro sangat rendah (0,037 kkal/mol) relatif terhadap energi
yang dibutuhkan untuk memutuskan ikatan molekul (80-120 kkal/mol). Oleh karena
itu, eksitasi molekul dengan gelombang mikro tidak mempengaruhi struktur
molekul. Interaksi yang terjadi murni kinetik.
3.6.2. Mekanisme
konduksi
Panas dihasilkan karena
adanya resistansi terhadap arus listrik. Medan elektromagnetik yang bergetar
menghasilkan getaran electron atau ion dalam konduktor dan menghasilkan arus
listrik. Arus yang masuk kedalam tahanan internal akan memanaskan konduktor.
3.6.3. Polarisasi antar
muka (Interfacial polaritation)
Mekanisme pemanasan
jenis ini merupakan gabungan dari mekanisme polarisasi dipolar dan mekanisme
konduksi. Keuntungan sintesis dengan gelombang mikro ialah laju reaksi
meningkat dengan adanya fenomena superboiling. randemen lebih tinggi, pemanasan
lebih merata, lebih ramah lingkungan, pemanasan lebih selektif karena respon
tiap molekul pada radiasi gelombang mikro berbeda-beda.
2.6 Konduktivitas Ionik
Konduktivitas listrik
timbul karena adanya migrasi elektron atau migrasi ion. Konduktivitas
elektronik adalah konduktivitas listrik yang disebabkan migrasi
elektron-elektron. Sedangkan konduktivitas ionik adalah konduktifitas yang
terjadi karena adanya migrasi ion-ion. Konduktivitas ionik bergantung pada
jenis ion yang bermigrasi dalam material. Material disebut konduktor anionik
jika ion-ion pembawa muatan negatif yang bermigrasi sedangkan untuk ion-ion
pembawa muatan positif yang bergerak maka material tersebut dinamakan konduktor
kationik.
Hidrogen
sebagai bahan bakar alternatif.
Sebanyak 95 persen
dari hidrogen yang digunakan saat ini berasal dari pemrosesan gas alam.
Sisanya diproduksi secara elektrolisa – sebuah proses yang menguraikan air ke
dalam komponen-komponennya, yaitu hidrogen dan oksigen.
Beberapa
dari teknologi yang digunakan untuk memproduksi hidrogen adalah:
• Steam
reforming, mengkonversi gas methane (dan hidrokarbon lainnya dalam gas
alam) menjadi hidrogen dan karbon monoksida dengan reaksi dengan uap melalui
katalis nikel. Karbon yang dipisahkan dari hidrogen dalam proses reformasi
dapat ditangkap dan diasingkan untuk menghindari kerusakan pada lingkungan.
• Elektrolisis, menggunakan arus listrik langsung untuk memisahkan air menjadi hidrogen pada elektroda negatif dan oksigen pada elektroda positif.
• Elektrolisis uap (suatu variasi pada elektrolisis konvensional) menggunakan panas, bukan listrik, untuk menyediakan sejumlah energi yang dibutuhkan untuk memisahkan air, sehingga membuat proses lebih hemat energi.
•Pemisahan air secara thermokimia, menggunakan bahan kimia dan panas dalam beberapa langkah untuk memisahkan air menjadi beberapa bagian.
• Sistem fotokatalitik, menggunakan bahan khusus untuk memisahkan air menggunakan sinar matahari saja.
• Sistem Photobiologi, menggunakan mikroorganisme untuk memisahkan air dengan adanya sinar matahari.
• Sistem Biologi menggunakan mikroba untuk memecah berbagai bahan baku biomassa menjadi hidrogen.
• Pemisahan air secara thermal, menggunakan suhu sangat tinggi (sekitar 1000 ° C) untuk memisahkan air.
• Gasifikasi, menggunakan panas untuk memecahkan biomassa atau batubara menjadi gas hidrogen murni dari yang dapat diekstraksi.
• Elektrolisis, menggunakan arus listrik langsung untuk memisahkan air menjadi hidrogen pada elektroda negatif dan oksigen pada elektroda positif.
• Elektrolisis uap (suatu variasi pada elektrolisis konvensional) menggunakan panas, bukan listrik, untuk menyediakan sejumlah energi yang dibutuhkan untuk memisahkan air, sehingga membuat proses lebih hemat energi.
•Pemisahan air secara thermokimia, menggunakan bahan kimia dan panas dalam beberapa langkah untuk memisahkan air menjadi beberapa bagian.
• Sistem fotokatalitik, menggunakan bahan khusus untuk memisahkan air menggunakan sinar matahari saja.
• Sistem Photobiologi, menggunakan mikroorganisme untuk memisahkan air dengan adanya sinar matahari.
• Sistem Biologi menggunakan mikroba untuk memecah berbagai bahan baku biomassa menjadi hidrogen.
• Pemisahan air secara thermal, menggunakan suhu sangat tinggi (sekitar 1000 ° C) untuk memisahkan air.
• Gasifikasi, menggunakan panas untuk memecahkan biomassa atau batubara menjadi gas hidrogen murni dari yang dapat diekstraksi.
Karbon Monoksida (CO) dan CO2 sebagai bahan baku
pembuatan Hidrogen.
Di
dalam dunia modern, keberadaan karbon monoksida, atau CO, sangat banyak dan nyaris tak terhitung
jumlahnya. Senyawa ini terbentuk dari prosespembakaran tidak sempurna material
yang mengandung karbon yaitu, antara lain bensin, solar, gas alam, minyak
tanah, kayu, arang, batubara, alkohol, dll. Semakin efisien proses
pembakaran material tersebut, semakin sedikit CO yang dihasilkan.
Gas CO
bersama H2O, dikonversikan menjadi H2 dan CO2 melalui
proses yang disebut Water-Gas Shift
Reaction. Gas CO2 , yang merupakan hasil dari proses ini dapat disimpan di dalam
tanah, atau dikumpulkan ke sistem penyimpanan karbon dioksida yang dilakukan
pada PLTU berbahan bakar fosil yang dilengkapi sistem penangkap karbon dan
penyimpanannya (CCS).
Karbon
dioksida (CO2), yang merupakan limbah dari PLTU maupun industri yang berbahan
bakar fosil, juga telah dibuktikan dapat digunakan sebagai katalisator
dalam produksi langsung hidrogen dari air secara plasmolysis.
Reaksi ini diperkenalkan untuk pertama kalinya oleh Bochin et.al. (lihat referensi).
Produksi
hidrogen sebagai bahan bakar bagi kendaraan bermotor di Indonesia tidak boleh
ditunda penerapannya di Indonesia, karena gas yang diharapkan akan menggantikan
BBM juga terbatas cadangannya di dalam bumi kita. Demikian pula dengan
batubara. Meskipun batubara dapat dicairkan dan digunakan sebagai bahan bakar
kendaraan bermotor, cadangannya pun akan habis dalam dua dekade ke depan.
Sumber :
: http://perpustakaancyber.blogspot.com/2013/03/cara-kerja-dan-aplikasi-sel-bahan-bakar-hidrogen-bahan-prinsip-contoh.html#ixzz2jG3pyQzD