Rabu, Oktober 30, 2013

Hidrogen & Fuel Cell

Cara Kerja dan Aplikasi Sel Bahan Bakar Hidrogen, Bahan, Prinsip, Pengertian, Contoh - Energi merupakan salah satu kebutuhan hidup yang harus terpenuhi demi kelangsungan hidup manusia. Saat ini kebutuhan energi sudah sangat besar seiring dengan peningkatan jumlah penduduk terutama energi listrik. Jadi, dalam bidang energi sudah saatnya kita mengusahakan untuk memproduksi sumber energi alternatif untuk mengantisipasi ketersediaan energi di masa yang akan datang. Sumber energi tersebut harus memenuhi parameter keberhasilan suatu sumber energi alternatif yaitu: dapat diperbarui (renewable energy), ramah lingkungan, dan biaya yang murah. Salah satunya dengan memanfaatkan sel bahan bakar (Fuel cell). Fuel cell merupakan konverter dari energi kimia ke energi listrik yang ramah lingkungan. Fuel cell dirancang untuk dapat diisi reaktannya yang terkonsumsi dimana fuel cell memproduksi listrik dan penyediaan bahan bakar hidrogen dan oksigen dari luar. Reaktan yang biasanya digunakan dalam sebuah sel bahan bakar adalah hidrogen di sisi anoda dan oksigen di sisi katoda. Reaktan mengalir masuk dan produk dari reaktan mengalir keluar. Sehingga operasi jangka panjang dapat terus menerus dilakukan selama disuplai oleh bahan bakar (hidrogen) dan oksigen.

Fuel cell ini di klasifikasikan sebagai pembangkit tenaga karena sel bahan bakar ini dapat beroperasi secara terus menerus atau selama ada persediaan bahan bakar (fuel) dan oksidan. Fuel cell diklasifikasikan dalam beberapa jenis tergantung dari jenis bahan bakar yang digunakan, yaitu Alkaline Fuel Cell (AFC), Molten Carbonate Fuel Cell (MCFC), Phosphoric Acid Fuel Cell (PAFC), Proton Exchange Membrane (PEM), Solid Oxide Fuel Cell (SOFC) (De Guire, 2003). Fuel cell memiliki karakteristik umum yaitu sangat efisien (>85%), modular (dapat ditempatkan dimana diperlukan), ramah lingkungan (tidak berisik, emisinya rendah), panas yang terbuang dapat di simpan (Handayani, 2008).

SOFC dianggap menarik karena memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan fuel cell jenis lain. SOFC merupakan fuel cell dengan temperatur tertinggi pada saat ini yaitu sekitar 600 oC - 1000 oC dan juga memiliki tingkat efesiensi yang paling tinggi yaitu sekitar 60%. SOFC berkembang sejak tahun 1950 dan memiliki dua bentuk yaitu planar dan tubular. Keuntungan dari fuel cell jenis ini yaitu dapat menggunakan bahan bakar lain selain hidrogen. Sama seperti jenis fuel cell yang lain, SOFC juga memiliki tiga bagian penting yaitu elektrolit, katode, dan anode (De Guire, 2003).

1. Sel Bahan Bakar (Fuel Cell)

Fuel cell (sel bahan bakar) adalah suatu konverter dari energi kimia menjadi energi listrik dengan memanfaatkan kecendrungan hidrogen dan oksigen untuk bereaksi dimana operasi jangka panjangnya dapat terus menerus terjadi selama bahan bakarnya dapat terus disuplai yaitu hidrogen dan oksigen. Gas hidrogen dan oksigen secara elektrokimia dikonvert menjadi air. Reaksi secara keseluruhannya adalah sebagai berikut (Cook, 2001):

Anoda : H2 → 2 H+ + 2 e-
Katoda : ½ O2 + 2 H+ + 2 e- → H2O

Reaksi total : H2 + ½ O2 → H2O + energi listrik + kalor


Prinsip kerja fuel cell yaitu hidrogen di dalam sel dialirkan menuju sisi anoda sedangkan oksigen di dalam udara dialirkan menuju sisi katoda. Pada anoda terjadi pemisahan hidrogen menjadi elektron dan proton (ion hidrogen). Ion hidrogen ini kemudian menyebrang dan bertemu dengan oksigen dan elektron di katoda dan menghasilkan air. Elektron-elektron yang mengandung muatan listrik ini akan menuju katoda melalui jaringan eksternal. Aliran elektron-elektron inilah yang akan menghasilkan arus listrik. Skema fuel cell diperlihatkan pada Gambar 1.

Skema sel bahan bakar (fuel cell) (Anonim 2012)
Fuel cell memiliki beberapa kelebihan yaitu (Anonim, 2008):
  1. Memiliki efiesiensi yang tinggi (60%-70%)
  2. Ramah lingkungan (tidak berisik, emisinya rendah)
  3. Secara teoritis, limbah atau emisi yang dihasilkan adalah air (H2O).
Berbeda dengan pada pembakaran biasa dengan menggunakan mesin, dimana limbah yang dihasilan adalah gas-gas yang berpotensi untuk mencemari lingkungan. Selain itu jika menggunakan pembangkit daya yang konvensional, polusi kebisingan juga dapat terjadi, sedangkan sel bahan bakar ini tidak menghasilkan suara. Sel bahan bakar tidak memerlukan penggantian elektrolit dan pengisian bahan bakar, akan tetapi jika bahan bakarnya habis, maka sel ini juga tidak dapat berfungsi.

3. Bahan bakarnya flexibel

Bahan bakar yang digunakan untuk sel bahan bakar dapat digunakan beberapa macam, kebanyakan menggunakan hidrogen dan oksigen sebagai bahan bakar dan oksidannya. Selain menggunakan kedua bahan tersebut, bahan bakar lain yang dicoba digunakan antara lain ammonia, hidrazine, metanol dan batubara.

Fuel cell memiliki beberapa macam tipe yaitu
  1. Alkaline Fuel Cell (AFC)
  2. Molten Carbonate Fuel Cell (MCFC)
  3. Phosphoric Acid Fuel Cell (PAFC)
  4. Proton Exchange Membrane (PEM)
  5. Solid Oxide Fuel Cell (SOFC)
4. Solid Oxide Fuel Cell (SOFC)

SOFC adalah suatu jenis perangkat elektrokimia yang menggunakan bahan bakar oksida padat yang dapat mengkonversi secara langsung dari energi kimia menjadi energi listrik yang lebih efisien dan bahan bakarnya bebas dari polusi. Skema sebuah SOFC diperlihatkan pada Gambar 2. (Wikipedia, 2012):
Gambar 2. Skema SOFC. (Anonim, 2012)
Pada suhu tinggi oksigen bermigrasi melalui lapisan elektrolit menuju anoda yang akan mengoksidasi bahan bakar yang mengandung molekul hidrogen pada anoda yang akan menghasilkan ion hidrogen dan akan membebaskan elektron. Elektron yang dihasilkan pada anoda keluar dari sirkuit masuk ke sisi katoda yang akan dipergunakan sebagai tenaga listrik dengan efisiensi 60%. SOFC memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan jenis fuel cell yang lain, yaitu (Anonim, 2012):
  1. Memiliki efisiensi yang tinggi 60%.
  2. Memiliki stabilitas jangka panjang.
  3. Ramah lingkungan.
  4. Dapat menggunakan beberapa jenis bahan bakar.
  5. Emisinya rendah.
  6. Biaya yang relatif rendah.
  7. Dapat beroperasi pada suhu tinggi yaitu 600 o- 1000 oC.
SOFC memiliki dua desain yaitu desain planar dan tubular (tabung) seperti yang terlihat pada Gambar 3. 


Desain planar memiliki lapisan khusus dalam berbagai ukuran yang banyak digunakan dalam berbagai sel bahan bakar dimana lapisan elektrolitnya terletak diantara elektroda. Sedangkan desain tubular, udara atau bahan bakar melewati bagian dalam tabung dan gas lainnya dilewatkan pada bagian luar tabung. Desain tubular menguntungkan karena lebih mudah untuk membatasi dan memisahkan bahan bakar dari udara dibandingkan dengan bentuk planar (De Guire 2003).

Gambar 3. (a) sistem tubular SOFC (b) Sistem planar SOFC (De Guire 2003).
Sama seperti fuel cell pada umumnya, SOFC juga memiliki bagian penting, yaitu (De Guire, 2003):

a. Elektrolit

Elektrolit merupakan pemisah antara katoda dan anoda. Elektrolit berfungsi untuk memindahkan ion-ion yang terlibat dalam reaksi-reaksi reduksi dan oksidasi dalam sel bahan bakar. Elektrolit sangat berpengaruh pada kinerja fuel cell.

b. Katode

Katode merupakan elektroda yang berinteraksi dengan udara yang berfungsi menjadi batas untuk oksigen dan elektrolit, mengkatalis reaksi reduksi oksigen dan menghubungkan elektron-elektron dari sirkuit luar ke tempat reaksi.

c. Anode

Anode merupakan elektroda yang berinteraksi dengan bahan bakar yang berfungsi menjadi batas untuk bahan bakar dan elektrolit, mengkatalis reaksi oksidasi dan menghubungkan elektron-elektron dari tempat reaksi elektron dari tempat reaksi ke eksternal sirkuit. Anoda merupakan bagian terpenting dalam SOFC. Anode dalam sebuah SOFC harus memiliki beberapa kriteria yaitu
  1. Memiliki konduktivitas listrik yang tinggi (10-1- 103 (Ω.cm)-1)
  2. Stabil dalam lingkungan reduksi
  3. Mempunyai porositas yang spesial dan banyak (20%-40%)
  4. Memiliki aktivitas katalik dan elektrokimia yang tinggi untuk mengoksidasi bahan bakar
  5. Memiliki struktur kristal kubik.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Herliyani (2012) dilakukan pembuatan anode dengan bahan dasar CSZ (calcia stabilized zirconia) dengan metode kompaksi serbuk. Dimana metode kompaksi serbuk merupakan proses pembuatan serbuk dan benda jadi dari serbuk logam atau paduan logam dengan ukuran serbuk tertentu dengan cara di kompaksi tanpa melalui proses peleburan (Rusianto, 2009). Energi yang digunakan dalam proses ini relative rendah sedangkan keuntungan lainnya antara lain hasil akhirnya dapat langsung disesuaikan dengan dimensi yang diinginkan yang berarti akan mengurangi biaya permesinan dan bahan baku yang terbuang.

Jenis dan macam produk yang dihasilkan oleh proses metalurgi serbuk sangat ditentukan proses kompaksi dalam membentuk serbuk dengan kekuatan yang baik. Pada proses kompaksi serbuk meliputi proses pengepresan suatu bentuk di dalam cetakan yang terbuat dari baja. Teknik metalurgi serbuk meliputi pencampuran serbuk (mixing), pembuatan pellet (kompaksi), perlakuan panas (sintering). Pengecoran adalah suatu proses manufaktur yang menggunakan logam cair dan cetakan untuk menghasilkan parts dengan bentuk yang mendekati bentuk geometri akhir produk jadi. Logam cair akan dituangkan atau ditekan ke dalam cetakan yang memiliki rongga sesuai dengan bentuk yang diinginkan (Anonim, 2011). Namun teknik ini mempunyai beberapa kelemahan antara lain butir-butir yang dihasilkan cukup besar sehingga menurunkan kekuatan tariknya. Selain itu teknik pengecoran mempunyai kesulitan dalam pemaduan unsur-unsur dengan perbedaan titik leleh yang besar. Sehingga metode metalurgi serbuk ini digunakan dalam penelitian ini walaupun metode ini memiliki beberapa kelemahan yaitu : bentuk yang rumit tidak dapat dibuat, bahan serbuk logam mahal dan kadang sulit penyimpanannya karena mudah terkontaminasi.

Keramik CSZ ini merupakan campuran dari ZrO2 dan CaO dengan perbandingan persentase mol sebesar 85% dan 15% karena jika ZrO2 lebih dari 85% maka dikhawatirkan keramik akan menjadi rapuh sedangkan jika persentase mol kurang dari 85% maka tidak akan membentuk struktur kristal kubik seperti yang diharapkan. Kemudian campuran CSZ yang terbentuk ditambahkan dengan NiO dan PVA yang bervariasi konsentrasi beratnya masing-masing sebesar 2%, 6%, dan 10% dimana variasi persentase konsentrasi berat PVA seperti ini paling tepat untuk menghasilkan porositas keramik yang spesial tetapi konsentrasi berat PVA ini bisa diekstrapolarsi jika ada penelitian lain yang mencoba dengan persentase konsentrasi berat PVA sebesar ≤ 2%, 6%, dan 10%. Berikut ini adalah tabel karakteristik dari PVA (polyvinyl alcohol).

Tabel 1. Karakteristik PVA (Wikipedia, 2012)

Rumus Molekul
(C2H4O)
Kerapatan
1,19 – 1,39 g/cm3
Titik didih
228 oC
Titik lebur
230 oC

Matula et al., (2008) menjelaskan bahwa untuk mendapatkan bahan anode SOFC yang paling baik, maka campuran harus disintering dengan temperature sintering ≤ 1400 oC dan direduksi pada temperatur minimal 800 oC  Hal ini terlihat dari Gambar 4, dimana pada gambar ini terlihat bahwa densitas dari Ni-YSZ meningkat seiring dengan penambahan suhu sintering tetapi akan kembali menurun jika suhu sinteringnya lebih dari 1500 oC. Sedangkan jika temperatur reduksi kurang dari 800 oC maka reduksi akan berlangsung tidak sempurna karena masih adanya fase NiO.

Gambar 4. Kurva sintering Ni-YSZ 50:50 (Matula et al., 2008)
Selain suhu sintering dan reduksi, komposisi NiO pada Ni-YSZ juga mempengaruhi bahan yang akan dijadikan anode. Seperti yang diharapkan porositas meningkat terhadap NiO sebagai konsekuensi dari reduksi Ni. Efek ini menguntungkan untuk transport bahan bakar di anoda. Namun, ketika tingkat porositas terlalu tinggi maka sifat mekanik berkurang. Berdasarkan pengujian sifat listrik ditemukan bahwa meningkatnya NiO menyebabkan peningkatan konduktivitas pada Ni-YSZ. NiO yang lebih rendah dari 40% menghasilkan konduktivitas yang relative rendah dan material ini tidak sesuai untuk diaplikasikan sebagai anode pada SOFC. Untuk mempertahankan sifat mekanik yang tinggi yang diperlukan untuk anoda SOFC, komposisi NiO di NiO-YSZ campuran tidak boleh lebih tinggi dari 60% tetapi tidak boleh lebih kurang dari 40% agar harga konduktivitas keramik tidak terlalu rendah (Matula et al., 2008). Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan pembuatan keramik Ni-CSZ untuk diaplikasikan sebagai anode SOFC dengan komposisi NiO 50% dengan suhu sintering 1500 oC dan direduksi pada suhu 900 oC.

Gambar 5. Proses yang terjadi selama pembuatan keramik secara fisis
Proses fisis yang terjadi selama pembuatan pelet Ni-CSZ secara fisis dijelaskan pada Gambar 5. sebagai berikut:

2.1. Keramik

Keramik dapat didefinisikan sebagai campuran anorganik yang mencakup bahan logam dan nonlogam yang dibentuk berdasarkan perlakuan panas dan tekanan (Boursoum, 1997). Sifat keramik sangat ditentukan oleh struktur kristal, komposisi kimia, dan mineral bawaannya. Keramik memiliki jenis yang sangat banyak. Salah satunya adalah ZrO2, dimana keramik ZrO2 memiliki karakteristik sebagai berikut: diguanakan pada suhu sampai 2.400 oC, kepadatan tinggi, konduktifitas termalnya rendah, kimia inertness, perlawanan terhadap logam cair , ionic konduksi listrik, ketangguhan perpatahan tinggi, kekerasan tinggi, (dalam Wikipedia, 2010). Gambar berikut menunjukan diagram fasa ZrO2-CaO.

Gambar 6. Diagram fasa ZrO2-CaO. (Anonim, 2012)
Gambar 6. merupakan diagram fasa ZrO2 CaO. Dalam penelitian ini keramik CSZ diharapkan membentuk struktur kubik sehingga persentase mol CaO harus diantara 15% - 27% dan temperature sinteringnya ≤ 1500 oC.

2.3 Sintering

Proses sinter merupakan proses perlakuan panas pada serbuk ataupun padatan dari serbuk pada temperatur 2/3 dibawah titik leleh untuk meningkatkan kekuatan (Didiek et al., 2007). Proses sintering ini lebih efektif daripada proses kalsinasi. Dimana kalsinasi itu merupakan suatu metode pemisahan dengan memecah ikatan antar senyawa menggunakan pemanasan 800 oC karena pada suhu ini ikatan kompleks akan terpecah. Sedangkan pembakaran adalah suatu tahapan reaksi kimia antara suatu bahan bakar dan suatu oksidan disertai dengan produksi panas yang kadang disertai cahaya dalam bentuk pendar atau api.

Proses sintering sangat efektif untuk mengurangi porositas, meningkatkan kekuatan, meningkatkan konduktivitas termal, dan meningkatkan kerapatan keramik sesuai dengan mikrostruktur dan komposisi fasa yang diinginkan. Selama proses sintering ukuran butir mengecil dan menjadi lebih bulat karena permukaan partikel masuk ke pori-pori di dalamnya sehingga porositas berkurang dan membuat sampel menjadi lebih padat. Gambar 7a. dan Gambar 7b. menunjukan dua kemungkinan yang akan terjadi selama proses sintering.

Gambar 7. (a) Densifikasi diikuti dengan pertumbuhan butir (grain growth), (b) coarsening (Barsoum, 1997).
Kedua mekanisme ini saling bersaing. Jika proses atomnya yang mendominasi adalah densifikasi, maka kerapatan dan porositasnya akan mengecil dan menghilang terhadap waktu. Tetapi, jika proses coarsening lebih cepat, maka kekasaran dan porositasnya akan membesar terhadap waktu (Barsoum, 1997).

3. Polimeric Electrolyte Membrane Fuel Cells (PEMFC) (Mudzakir, 2010)

PEMFC merupakan
 sel bahan bakar yang banyak dipilih dikarenakan sel bahan bakar tersebut memiliki sifat yang lebih menguntungkan, yakni mampu meminimalisir korosi yang sering terjadi dalam penggunaan sel bahan bakar jenis laindengan bahan elektrolit yang korosif, selain itu PEMFC dapat beroperasi pada temperatur rendah (sekitar 80 oC). Pada PEMFC membran digunakan sebagai konduktor proton dan insulator elektronik sehingga mempermudah pengemasan dan meningkatkan efisiensi kerja transfer ion H+ hingga mencapai 40-50%. (Souza, 2003)

Membran yang saat ini banyak digunakan untuk PEMFC adalah Nafion®. Politetrafluoroetilena dengan cabang gugus asam sulfonat (Nafion®) memiliki konduktivitas proton, ketahanan mekanik, dan ketahanan termal yang baik. Namun membran Nafion® memiliki kekurangan yaitu tidak ramah lingkungan, harga yang mahal serta memiliki permeabilitas metanol yang tinggi sehingga tidak dapat diaplikasikan pada Direct Methanol Fuel Cell (DMFC). Oleh karena itu berbagai penelitian dilakukan dengan tujuan mendapatkan membran baru yang lebih baik dari segi kualitas, harga dan ramah lingkungan dibandingkan dengan Nafion®.

Dalam PEMFC membran yang digunakan harus bermuatan negatif agar efisien dalam menarik dan melewatkan proton dari anoda ke katoda. Dan agar lebih ramah lingkungan membran harus dapat terdegradasi secara alami, sehingga membran hasil pemakaian tidak menjadi limbah atau polutan.

Kitosan merupakan salah satu biopolimer yang memenuhi syarat untuk diaplikasikan sebagai membran dalam sel bahan bakar. Karena kitosan bersifat hidrofilik, memiliki kekuatan mekanik yang baik, mudah dimodifikasi secara kimia serta dapat terdegradasi secara alami. Kitosan merupakan biopolimer yang berasal dari kulit udang yang telah dideasetilisasi. Sehingga pemanfaatan kitosan sebagai membran dapat menjawab permasalahan limbah dan menaikkan nilai ekonomi kulit udang tersebut. Bila dibandingkan dengan Nafion® konduktivitas kitosan sangat rendah, sehingga untuk menaikkan konduktivitas ioniknya dilakukan sulfonasi pada kitosan.

Polymeric electrolyte membrane fuel cell (PEMFC) disebut juga proton exchange membrane fuel cell. Membran ini berupa lapisan tipis padat yang berfungsi sebagai elektrolit pemisah katoda dan anoda. Membran ini secara selektif mengontrol transport proton dari anoda ke katoda dalam sel bahan bakar. PEMFC mengandung katalis platina. Selain itu, pada fuel cell ini tidak dipakai fluida yang bersifat korosif seperti jenis sel bahan bakar lainnya.

Membran polimer merupakan komponen yang sangat penting dalam PEM fuel cell. Membran polimer ini dapat memisahkan reaktan dan menjadi sarana transportasi ion hidrogen yang dihasilkan di anoda menuju katoda sehingga menghasilkan energi listrik. Kemurnian gas hidrogen sangat mempengaruhi emisi buang sistem fuel cell berbasis polimer tersebut. Kemurnian hidrogen yang tinggi memberikan tingkat emisi yang mendekati zero emission. Penggunaan hidrogen dengan tingkat kemurnian tinggi juga dapat memperpanjang waktu hidup membran fuel cell dan mencegah pembentukan karbonmonoksida (COx) yang beracun, pada permukaan katalis (Jamal, 2007).
Gambar 8. Skema PEMFC
Skema gambaran pada prinsip sel bahan bakar ditunjukkan pada Gambar 8. hidrogen sebagai bahan bakar yang dikonsumsi pada anoda, menghasilkan elektron yang dialirkan ke katoda melalui rangkaian luar. Ion hidrogen masuk ke larutan elektrolit dan tersebar ke katoda oleh aliran elektroosmotik. Pada katoda, oksigen dikombinasikan dengan elektron dan proton dari aliran elektrolit untuk menghasilkan air dan panas. Ionic liquids fuel cell (ILFs) merupakan sel bahan bakar berbasis hidrogen dengan cairan ionik sebagai elektrolitnya, yang berfungsi sebagai media untuk proton (H+) bermigrasi dari anoda menuju ke katoda. Pada penelitian sebelumnya (Souza, 2003) telah melakukan penelitian mengenai cairan ionik imidazolium sebagai media penghantar proton dalam sel bahan bakar.

Gambar 8. Diagram aplikasi sel bahan bakar pada berbagai bidang.
Dengan kemajuan yang signifikan, kini sel bahan bakar telah diaplikasikan pada berbagai bidang untuk memenuhi kebutuhan dan kemudahan bagi kehidupan manusia. Diantaranya untuk transportasi air, udara dan laut serta pemenuhan kebutuhan rumah tangga dan industri. Serta digunakan dalam berbagai bidang seperti industri, kedokteran, transportasi hingga militer.

3.1 Kitosan

Kitosan pertama kali ditemukan oleh ilmuan Perancis, Ojier, pada tahun 1823. Ojier meneliti kitosan hasil ekstrak kerak binatang berkulit keras, seperti udang, kepiting, dan serangga.

Senyawa kitosan diperoleh dari proses deasetilisasi senyawa kitin. Kitin adalah poliamino sakarida yang cukup banyak terdapat di alam setelah selulosa, susunan molekulnya mirip dengan selulosa. Keterbatasan penggunaan kitin disebabkan kitin sukar larut dalam beberapa pereaksi. Oleh karena itu kitin banyak digunakan setelah ditransformasikan dalam bentuk kitosan. Gambar 9. menunjukkan reaksi transformasi kitin menjadi kitosan.

Gambar 9. Reaksi Transformasi Kitin Menjadi Kitosan. [1]
Kitosan yang dapat diperoleh dari deasetilasi kitin merupakan biopolimer yang potensial untuk dijadikan bahan dasar membran sel bahan bakar (fuel cell membranes). Dikarenakan keunggulan material ini yang bersifat hidrofilik, mempunyai ketahanan mekanik yang tinggi, mudah dimodifikasi secara kimia, ramah lingkungan serta keberadaanya yang melimpah di alam.

3.2 Kitosan Sulfonat

Untuk meningkatkan konduktivitas membran kitosan dan menurunkan permeasi terhadap metanol dalam aplikasi sel bahan bakar dilakukan proses sulfonasi terhadap kitosan. Reaksi sulfonasi dapat diartikan sebagai suatu reaksi subtitusi untuk mengganti atom hidrogen dengan gugus –SO3H pada molekul organik melalui ikatan kimia pada atom karbon. Syarat untuk terjadinya sulfonasi adalah keasaman fasa yang harus dipenuhi, karena jika terjadi perbedaan fasa antara gugus sulfonasi dengan polimer yang akan disulfonasi dapat menyebabkan reaksi sulfonasi mengalami kegagalan. Selain itu dalam reaksi ini diperlukan suatu pelarut yang memiliki kelarutan yang baik.

Proses sulfonasi dapat dilakukan dengan senyawa yang memiliki gugus sulfonat diantaranya yaitu asam sulfat (H2SO4), oleum, asetil sulfat, dan asam klorosulfonat. Proses sulfonasi pun dapat dilakukan dengan 2 metode, metode pertama yaitu metode konvensional dan metode yang kedua menggunakan bantuan gelombang mikro (microwave oven). Hasil karakterisasi penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa membran kitosan sulfonat yang dihasilkan dengan metoda konvensional memiliki sifat termal dan kapasitas penukar proton yang lebih tinggi dibandingkan membran yang diperoleh dengan bantuan gelombang mikro. 

Namun demikian, membran yang dihasilkan dari metoda pertama sangat rapuh. Sebaliknya, membran kitosan tersulfonasi yang diperoleh dari hasil reaksi dengan bantuan gelombang mikro mempunyai kekuatan mekanik yang baik untuk uji permeasi selanjutnya. Data penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa membran kitosan sulfat yang disintesis dengan gelombang mikro mempunyai nilai permeasi terhadap metanol yang lebih rendah dibandingkan dengan membran kitosan tanpa sulfonasi (Velianti, 2008). Gambar 10. menunjukkan reaksi transformasi kitosan menjadi kitosan sulfonat dengan asam klorosulfonat sebagai agen pensulfonasinya.

Gambar 10. Reaksi Transformasi Kitosan Menjadi Kitosan Sulfonat. [10]
Penelitian mengenai sintesis kitosan sulfat dengan bantuan gelombang mikro telah dilakukan sebelumnya (Mansyur, 2009). Gelombang mikro digunakan untuk membantu pemasukan gugus N-sulfo dan O-sulfo pada kitosan. Struktur kitosan sulfonat yang didapatkan dengan gelombang mikro tidak jauh berbeda dengan struktur kitosan. Karakterisasi penelitian yang dilakukan sebelumnya dengan menggunakan gelombang infra merah menghasilkan spektrum khas yang sama dengan kitosan hanya berbeda serapan pada bilangan gelombang 1382,96 cm-1 yang menunjukkan vibrasi ulur ikatan –SO2O-O- dan pada serapan 1018,41 cm-1 yang menunjukkan ikatan C-O-S. Selain itu, puncak gugus C=O yang terdapat pada bilangan gelombang 1658 cm-1 memiliki kesamaan antara kitosan dan kitosan sulfonat menunjukkan bahwa rantai polimer tidak mengalami pemutusan ikatan.

3.3 Modifikasi Membran dengan Cairan ionik

Pemodifikasian membran Nafion® dengan cairan ionik 1-etil-3-metilimidazolium (EMI) telah dilakukan oleh Bennett, et al. (2005). Pemodifikasian tersebut dilakukan untuk mengetahui pengaruh cairan ionik pada membran Nafion® dengan cara identifikasi pada nilai konduktivitas membran dan morfologi membran. Pemodifikasian dilakukan dengan cara meredam membran dalam cairan ionik / metanol dengan perbandingan 1:1 (v/v) selama 3 jam pada suhu ruang dan pada suhu 70 oC. Metanol dipilih karena dapat melarutkan cairan ionik dan sifatnya yang mudah menguap. Membran kemudian dikeringkan pada suhu 110 oC selama 3 jam untuk menghilangkan metanol. Dilaporkan pula bahwa proses pemodifikasian membran dengan cairan ionik akan lebih baik pada suhu tinggi, namun penguapan methanol sangat cepat pada suhu 90 oC, sehingga proses pemodifikasian tidak terkendali.

3.4. Cairan Ionik (Ionic Liquids)

Cairan ionik (ionic liquids) adalah suatu senyawa yang hanya memiliki spesies ionik tanpa adanya molekul netral yaitu hanya terdiri atas kation-anion (Hermanutz, et al., 2006). Dalam arti luas, istilah ini mencakup semua garam cair, misalnya, lelehan natrium klorida pada suhu yang lebih tinggi dari 800 °C. Namun, pada saat ini, istilah "cairan ionik" digunakan untuk garam dengan titik lebur yang relatif rendah (dibawah 100 °C). Berbeda dengan garam cair (molten salt) yang biasanya mempunyai titik leleh dan viskositas tinggi, juga sangat korosif, cairan ionik umumnya berwujud cair pada suhu kamar, mempunyai viskositas relatif lebih rendah dan relatif tidak mempunyai sifat korosif (Toma, et al., 2000). Dengan demikian, cairan ionik (ILs) hanya digunakan untuk garam dengan titik leleh yang relatif rendah, yaitu terletak pada suhu < 100 - 150 oC (Hagiwara dan Ito, 2000; Hermanutz, et al., 2006), terutama garam yang berbentuk cairan pada suhu kamar lebih dikenal dengan room-temperature ionic liquids (RTILs).

Keuntungan dari sifat yang dimiliki cairan ionik adalah memiliki rentang cair besar, sekitar 300 °C (-96 sampai lebih dari 200 °C) ; memiliki kestabilan termal dan elektrokimia yang tinggi; merupakan pelarut yang baik bagi material organik, anorganik maupun polimer; tidak mudah menguap; tidak mudah terbakar; tidak beraroma (bau yang ditimbulkan berasal dari pengotor); menunjukkan keasaman Bronsted, Lewis, Franklin dan keasaman yang tinggi (Superacidity); dapat menjadi katalis sekaligus sebagai pelarut; memiliki sifat selektif yang tinggi terhadap suatu reaksi dan sebagainya (Fitzwater, et al., 2005; Lajunen, 2006; Pitner, 2004).

Sifat dari cairan ionik dapat disesuaikan dengan mengubah struktur kation dan anionnya (Murugesan dan Linhardt, 2005). Sifat-sifat cairan ionik seperti kepolaran atau hidrofilisitas/ lipofilisitas yang bisa diatur tergantung dari kation maupun anion yang menyusunnya menjadikan cairan ionik dikenal sebagai tailored-made solvents (Gordon, 2003).

Jenis-jenis kation yang sering digunakan sebagai kation cairan ionik diantaranya adalah sebagai berikut (Murugesan dan Linhardt, 2005):

Gambar 11. Beberapa Jenis Kation Cairan Ionik.
Sedangkan jenis anion yang sering digunakan diantaranya adalah tetraflouroborat [BF4]-, heksaflouroposfat ([PF6]-), heksafluoro antimonat ([SbF6]-), nitrat ([NO3]-), tosilat ([Ots]-), triflat ([Otf]-), bromida (Br-), klorida (Cl-), iodida (I-), triflouroasetat ([CF3CO2]-), perklorat ([ClO4]-), germanium klorida ([GeCl3]-), bis(trifluorometilsulfonil) imida ([NTf2]-), aluminium klorida ([Al2Cl7]-), aluminium tetraklorida ([AlCl4]-), asetat ([CH3CO2]-), dan benzoat ([C6H5CO2]-) (Murugesan dan Linhardt, 2005).

3.4.1 Sintesis Cairan Ionik

Tahapan sintesis dari cairan ionik dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu: pembentukan kation yang diinginkan dan pergantian anion untuk membentuk produk yang diinginkan. Pada beberapa kasus, produk dapat langsung dihasilkan tanpa melakukan tahap kedua seperti pada pembentukan etilammonium nitrat. Kebanyakan kasus kation yang diinginkan secara komersil tersedia dalam harga yang wajar (seperti garam halida, garam tetraalkilammonium dan trialkilsulfonium iodida), yang hanya digunakan untuk reaksi pergantian anion. Reaksi yang digunakan untuk mensintesis cairan ionik meliputi reaksi kuartenerisasi dan reaksi pergantian anion (Gordon, 2003).

3.4.2 Reaksi Kuartenerisasi

Pembentukan kation dapat dihasilkan melalui protonasi dengan adanya asam bebas atau kuartenerisasi dari amina atau fosfin, biasanya dengan haloalkana. Reaksi protonasi, yang biasa digunakan pada pembentukan garam seperti etilammonium nitrat, melibatkan penambahan asam nitrat 3 M yang kemudian didinginkan ke dalam larutan etilamin. Kelemahan proses ini yaitu dihasilkannya residu amina yang tidak diharapkan (Gordon, 2003).

Pada prinsipnya, reaksi kuartenerisasi sangatlah sederhana, amin atau fosfin dicampurkan dengan haloalkana yang diinginkan kemudian diaduk dan dipanaskan. Garam halida yang dihasilkan pun dapat dengan mudah dirubah menjadi garamgaram lain dengan anion yang berbeda (Gordon, 2003).

3.4.3 Reaksi Pergantian Anion

Reaksi pergantian anion dapat dibagi dalam dua kategori yaitu perlakuan langsung dari garam halida dengan asam lewis dan pembentukan cairan ionik melalui reaksi metatesis anion (Gordon, 2003).

3.4.3.1 Reaksi Asam Basa Lewis

Pembentukan cairan ionik dengan proses ini dilakukan dengan perlakuan dari garam halida dengan asam Lewis (biasanya AlCl3). Proses yang umum dilakukan yaitu perlakuan dari kuartener garam halida Q+X- dengan asam Lewis MXn menghasilkan pembentukan lebih dari satu spesi anion yang bergantung dari perbandingan relatif dari Q+X- dan MXn. Pembentukan dari proses ini dapat dicontohkan dengan etilmetilimdazolium (EMIM) klorida dan AlCl3 seperti reaksi dibawah ini:

[EMIM]+Cl- + AlCl3 → [EMIM]+ [AlCl4]-
[EMIM]+ [AlCl4]- + AlCl3 → [EMIM]+ [Al2Cl7]-
[EMIM]+ [Al2Cl7] -- + AlCl3 → [EMIM]+ [Al3Cl10]

Metode yang sering digunakan untuk pembentukan cairan ionik dilakukan dengan pencampuran sederhana dari asam Lewis dengan garam halida. Reaksi umumnya eksoterm, ketika menambahkan satu zat ke dalam zat lain haruslah dengan sangat hati-hati. Walaupun garam relatif stabil akan suhu, panas yang terbentuk dari lingkungan dapat menyebabkan dekomposisi cairan ionik yang disintesis. Hal ini dapat dicegah dengan pendinginan selama proses pencampuran, walaupun hal itu dirasakan sangat sulit, atau bisa juga dengan menambahkan suatu zat ke dalam zat lain dengan jumlah yang sedikit demi sedikit. Dekomposisi atau pengurangan jumlah terjadi akibat adanya hidrolisis yang terjadi dalam cairan. Tetapi, hal yang biasa jika produk yang dihasilkan tidak murni 100% atau terkontaminasi dengan pengotor. Hal itu pun pasti terjadi pada sintesis cairan ionik, dan pengotor yang biasa mengkontaminasi produk adalah pelarut organik (Gordon, 2003).

3.4.3.2 Reaksi Metatesis Anion

Reaksi metatesis anion biasanya terjadi pada garam-garam yang ditambahkan dengan garam perak (AgNO3, AgNO2, AgBF4, Ag[CO2CH3] dan Ag2SO4) dalam metanol atau larutan metanol. Pada beberapa aplikasi, produk akan berupa cairan pada suhu ruangan. Kombinasi dari anion dapat menghasilkan perbedaan sifat termal yang berbeda-beda (Gordon, 2003).

3.5. Fatty Imidazolinium sebagai Sistem Kation Baru pada Cairan Ionik

Kation fatty imidazolinium pada Gambar 12(b) mempunyai struktur dan fungsi yang sangat mirip dengan kation imidazolium Gambar 12(a), berbeda hanya pada gugus substituen pada N3 [dengan adanya gugus amida, -[C(O)(NH)] pada Gambar 12(b) dan adanya ikatan rangkap pada sistem lingkar Gambar 12 (a). Garam fatty imidazolinium ini dapat disintesis dari asam lemak (Bajpai, dan Tyagi, 2006; Tyagi, et al., 2007), sehingga dimungkinkan untuk mendapatkan garam ini dari minyak nabati terbarukan lokal.

Gambar 12. Struktur Kation Imidazolium (a) dan Fatty Imidazolinium (b)




Gambar 13. Struktur Molekul dari (i) Fatty Imidazoline dan (ii) Kation Fatty Imidazolinium
Penggunaan iradiasi gelombang mikro (microwave irradiation) dalam sintesis organik menawarkan beberapa keuntungan yaitu umumnya reaksi dapat berlangsung dalam waktu yang singkat, rendemen yang diperoleh tinggi, dan kemurnian hasil yang tinggi. Selain itu, reaksi kering (dry reaction) dalam microwave menarik perhatian para peneliti karena dapat meminimalisir keracunan akibat penguapan dari pelarut organik yang berbahaya bagi tubuh (Bajpai et al., 2008).

3.6 Mekanisme Pemanasan dengan Gelombang Mikro

Gelombang mikro merupakan salah satu bentuk energi elektromagnetik dengan panjang gelombang antara 0,01 hingga 1 meter. Gelombang mikro terletak di antara gelombang inframerah dan gelombang radio dan memiliki frekuensi berkisar antara 0,3 samapai 30 GHz. Untuk penggunaan dalam laboratorium, frekuensi yang sering dipakai adalah 2,45 GHz. Proses pemanasan dalam sintesis organik dengan gelombang mikro melibatkan agitasi molekul polar atau ion yang bergetar dibawah pengaruh medan magnet atau arus listrik yang bergetar. Dalam medan yang bergetar, partikel-pertikel berusaha untuk mengorientasi diri agar menjadi sefasa. Gerakan partikel-partikel dibatasi oleh gaya dalam partikel yang menghasilkan gerakan acak hingga akhirnya menghasilkan panas.

Respon berbagai material terhadap radiasi gelombang mikro beragam dan tidak semua material dapat mengalami pemanasan oleh gelombang mikro, hanya material yang mengadsorpsi radiasi gelombang mikro saja yang sesuai dengan microwave chemistry.

Material ini dikelompokkan berdasarkan mekanisme pemanasannya:

3.6.1. Polarisasi dipolar

Polarisasi dipolar merupakan proses menghasilkan panas oleh molekul polar. Molekul polar yang berada dalam medan elektromagnetik yang berosilasi dengan frekuensi yang sesuai berusaha untuk mengikuti medan dan menjajarkan diri agar sefasa dengan medan. Adanya gaya dalam molekul menyebabkan molekul polar tidak dapat mengikuti orientasi medan. Peristiwa tersebut menghasilkan pergerakan partikel acak yang akan menghasilkan panas.

Polarisasi dipolar dapat menghasilkan panas dengan salah satu atau dua mekanisme ini :

a. Interaksi antara molekul pelarut polar, seperti: air, methanol dan etanol
b. Interaksi antara molekul terlarut polar, seperti: ammonia dan asam format

Radiasi gelombang mikro memiliki frekuensi yang sesuai (0,3-30 GHz) untuk mengosilasi partikel polar dan bernilai cukup besar untuk interaksi intermolekul. Disamping itu, energi foton gelombang mikro sangat rendah (0,037 kkal/mol) relatif terhadap energi yang dibutuhkan untuk memutuskan ikatan molekul (80-120 kkal/mol). Oleh karena itu, eksitasi molekul dengan gelombang mikro tidak mempengaruhi struktur molekul. Interaksi yang terjadi murni kinetik.

3.6.2. Mekanisme konduksi

Panas dihasilkan karena adanya resistansi terhadap arus listrik. Medan elektromagnetik yang bergetar menghasilkan getaran electron atau ion dalam konduktor dan menghasilkan arus listrik. Arus yang masuk kedalam tahanan internal akan memanaskan konduktor.

3.6.3. Polarisasi antar muka (Interfacial polaritation)

Mekanisme pemanasan jenis ini merupakan gabungan dari mekanisme polarisasi dipolar dan mekanisme konduksi. Keuntungan sintesis dengan gelombang mikro ialah laju reaksi meningkat dengan adanya fenomena superboiling. randemen lebih tinggi, pemanasan lebih merata, lebih ramah lingkungan, pemanasan lebih selektif karena respon tiap molekul pada radiasi gelombang mikro berbeda-beda.

2.6 Konduktivitas Ionik

Konduktivitas listrik timbul karena adanya migrasi elektron atau migrasi ion. Konduktivitas elektronik adalah konduktivitas listrik yang disebabkan migrasi elektron-elektron. Sedangkan konduktivitas ionik adalah konduktifitas yang terjadi karena adanya migrasi ion-ion. Konduktivitas ionik bergantung pada jenis ion yang bermigrasi dalam material. Material disebut konduktor anionik jika ion-ion pembawa muatan negatif yang bermigrasi sedangkan untuk ion-ion pembawa muatan positif yang bergerak maka material tersebut dinamakan konduktor kationik.

Hidrogen sebagai bahan bakar alternatif.
Sebanyak  95 persen dari hidrogen yang digunakan saat ini berasal dari pemrosesan gas alam.  Sisanya diproduksi secara elektrolisa – sebuah proses yang menguraikan air ke dalam komponen-komponennya, yaitu hidrogen dan oksigen.  
Beberapa dari teknologi yang digunakan untuk memproduksi hidrogen adalah:

• Steam reforming, mengkonversi gas methane (dan hidrokarbon lainnya dalam gas alam) menjadi hidrogen dan karbon monoksida dengan reaksi dengan uap melalui katalis nikel. Karbon yang dipisahkan dari hidrogen dalam proses reformasi dapat ditangkap dan diasingkan untuk menghindari kerusakan pada lingkungan.
 Elektrolisis, menggunakan arus listrik langsung untuk memisahkan air menjadi hidrogen pada  elektroda negatif dan oksigen pada elektroda positif.
 Elektrolisis uap (suatu variasi pada elektrolisis konvensional) menggunakan panas, bukan listrik, untuk menyediakan sejumlah energi yang dibutuhkan untuk memisahkan air, sehingga membuat proses lebih hemat energi.
Pemisahan air secara thermokimia, menggunakan bahan kimia dan panas dalam beberapa langkah untuk memisahkan air menjadi beberapa bagian.
 Sistem fotokatalitik, menggunakan bahan khusus untuk memisahkan air menggunakan sinar matahari saja.
 Sistem Photobiologi, menggunakan mikroorganisme untuk memisahkan air dengan adanya sinar matahari.
 Sistem Biologi menggunakan mikroba untuk memecah berbagai bahan baku biomassa menjadi hidrogen.
 Pemisahan air secara thermal, menggunakan suhu sangat tinggi (sekitar 1000 ° C) untuk memisahkan air.
 Gasifikasi, menggunakan panas untuk memecahkan biomassa atau batubara menjadi gas hidrogen murni dari yang dapat diekstraksi.
Karbon Monoksida (CO) dan CO2 sebagai bahan baku pembuatan Hidrogen.
Di dalam dunia modern, keberadaan karbon monoksida, atau CO, sangat banyak dan nyaris tak terhitung jumlahnya.  Senyawa ini terbentuk dari prosespembakaran tidak sempurna material yang mengandung karbon yaitu, antara lain bensin, solar, gas alam, minyak tanah, kayu, arang, batubara, alkohol, dll.  Semakin efisien proses pembakaran material tersebut, semakin sedikit CO yang dihasilkan.
Gas CO bersama H2O, dikonversikan menjadi H2 dan CO2 melalui proses yang disebut  Water-Gas Shift Reaction.  Gas CO2 , yang merupakan hasil dari proses ini dapat disimpan di dalam tanah, atau dikumpulkan ke sistem penyimpanan karbon dioksida yang dilakukan pada PLTU berbahan bakar fosil yang dilengkapi sistem penangkap karbon dan penyimpanannya (CCS).
Karbon dioksida (CO2), yang merupakan limbah dari PLTU maupun industri yang berbahan bakar fosil,  juga telah dibuktikan dapat digunakan sebagai katalisator dalam produksi langsung hidrogen dari air secara plasmolysis.  Reaksi ini diperkenalkan untuk pertama kalinya oleh Bochin et.al. (lihat referensi).
Produksi hidrogen sebagai bahan bakar bagi kendaraan bermotor di Indonesia tidak boleh ditunda penerapannya di Indonesia, karena gas yang diharapkan akan menggantikan BBM juga terbatas cadangannya di dalam bumi kita.  Demikian pula dengan batubara. Meskipun batubara dapat dicairkan dan digunakan sebagai bahan bakar kendaraan bermotor, cadangannya pun akan habis dalam dua dekade ke depan.


Sumber :
: http://perpustakaancyber.blogspot.com/2013/03/cara-kerja-dan-aplikasi-sel-bahan-bakar-hidrogen-bahan-prinsip-contoh.html#ixzz2jG3pyQzD